-->

Penjarakan Wartawan, Polresta Sidoarjo Langgar UU Pers Dan Tantang Wakapolri



TRIBUNUS.CO.ID - Penangkapan Wartawan terkait pemberitaan Cafe Karaoeke X2 Sidoarjo yang diduga memperbolehkan pengunjung melakukan pornoaksi dan kuat dugaan tidak punya ijin Cafe Karaoke, menuai protes insan pers di Jakarta serta Jawa Timur.

Dengan adanya kejadian ini, sangat kuat dugaan bahwa penangkapan ini pesanan serta kriminalisasi terhadap pers masih terus terjadi. Kali ini menimpa Slamet Maulana, wartawan Beritarakyat.co.id, media online terbitan Surabaya, Jawa Timur.

Wartawan bernama Slamet Maulana atau akrab dipanggil Ade ini, ditangkap pada tanggal 12 Mei oleh Polres Sidoarjo. Diduga tanpa melalui proses penyelidikan hanya karena laporan pihak pengusaha hiburan karaoke, dan tidak sesuai SOP Polri.

Laporan Kasus yang menjerat Ade, atas nama Slamet Maulana ini bermula dari tulisannnya di beritarakyat.co.id soal adanya wanita penghibur di karaoke keluarga X-2. Pengelola tak suka lalu melaporkannya ke Polisi.

Kejadian penangkapan wartawan kerap terjadi, seperti waktu lalu Wartawan bernama M. Yusuf, wartawan media siber Kemajuan Rakyat dengan pasal 45 A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), ditangkap hingga meninggal di penjara, wartawan yang berani mengungkap fakta pemberitaan mengenai konflik antara warga dengan PT MSAM. Saat ini sering wartawan mendapatkan perlakuan diskriminasi kepolisian.


Adapun atas penangkapan Ade terkait pemberitaan, juga menjadi sorotan serta  mengundang reaksi keras dari Ketua Umum Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI) H. Taufiq Rachman SH, S.Sos, yang meminta Kapolri mengkaji ulang penangkapan wartawan itu.

“Setahu saya isteri korban sudah berkirim surat kepada Kapolri meminta perlindungan hukum. Selayaknya Kapolri menanggapi keluhan masyarakat tersebut, Wartawan yang ditangkap itu, tanpa melalui prosedur yang tepat (SOP Polri), dan Polresta Sidoarjo sudah jelas salahi Undang – Undang Pers no.40 tahun 1999 dan melawan perintah Wakapolri.” ujar H.Taufiq Rachman di Jakarta, Kamis (21/6).

Masih Taufiq, penangkapan dan penetapan tersangka terhadap diri seseorang adalah bagian dari proses penyidikan yang merupakan perampasan terhadap hak azasi manusia, maka seharusnya penetapan tersangka oleh penyidik dilakukan melalui prosedur atau SOP yang tepat.

“Ingat itu merupakan perampasan hak azasi, dan melanggar HAM, apalagi penangkapannya salahi prosedur atau SOP Polri,” tegas Taufiq Rachman

Terpisah, Devi Widowati dihubungi via ponselnya, Kamis (21/6) membenarkan dirinya sudah berkirim surat kepada Kapolri, meminta perlindungan hukum atas kasus yang menimpa suaminya.

“Ini terpaksa kami lakukan karena hak-hak suami saya yang dijadikan tersangka diabaikan. Kemarin, organisasi kewartawanan suami saya juga dilarang bertemu, harus melalui izin Kasat Serse,” kata Devi.

Dalam surat perihal ‘Pengaduan dan Mohon Perlindungan Hukum’ tersebut, Devi memaparkan kronologi peristiwa bahwa suaminya ditangkap atas laporan Arief Wiryawanto manager X-2 Family Karaoke pada 15 Januari 2018 lalu.

Awalnya, Slamet Maulana mendapat informasi soal adanya wanita penghibur di karaoke keluarga tersebut.

“Suami saya melakukan cross check, bertemu dengan manager karaoke. Selanjutnya suami saya pada Desember 2017 hingga Januari 2018 menulis apa yang didapat termasuk sanggahan pihak X-2,” urai Devi.

Tulisan yang dimuat antara lain adanya wanita penghibur yang bisa diajak mesum di dalam kamar tempat karaoke.

“Suami saya mempunyai bukti foto dan video adegan pornografi yang dilakukan oleh wanita penghibur (purel) yang beroperasi di karoke itu,” jelas Devi.

Tidak terima atas tulisan Ade, manager X-2 mengajak Ade bertemu dengan tujuan agar berita yang sudah naik dicabut sekaligus menghentikan membuat berita soal X-2.

“Saat itu X-2 diwakili oleh pengacara Prayit. Permintaan X-2 ditolak oleh suami saya,” ucapnya. Karena ajakan ditolak, akhirnya X-2 membuat laporan polisi No.LBP/24/1/2018/JATIM/RES.SD tanggal 15 Januari 2018.

“Aneh, Suami saya baru ditangkap tanggal 12 Mei 2018 tanpa penyelidikan terlebih dahulu,” ujar Devi.

Menurut Devi, seharusnya sebelum suaminya ditangkap dilakuan penyelidikan, misalnya diperiksa sebagai saksi, kemudian dilakukan gelar perkara baru ditetapkan seseorang sebagai tersangka atau tidak berdasarkan bukti-bukti.

Tanpa melalui prosedur tersebut Ade ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan melanggar pasal 45 ayat 3 dan 4 jo pasal 27 ayat 3 dan ayat 4 UURI No. 19 tagun 2016 tentang perubahan atas UURI No. 11 tahun 2008 Tentang ITE.


“Seharusnya pekerjaan suami saya sebagai wartawan dilindungi oleh UU Pokok Pers No. 40 tahun 1999, Kode Etik pers serta nota kesepahaman antara Kapolri dan dewan Pers No. 2/DP/MOU/II/2017 No. B/15/II/ tanggal 9 Pebruari 2017 tentang koordinasi dalam perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan hukum terkait penyalagunaan profesi wartawan,” urai Devi.

Soal penangkapan dan mempidana wartawan juga pernah diungkap Wakapolri Komjen Pol Syafrudiin yang mengatakan ” Wartawan tidak boleh langsung dipidana, karena mereka bukan penjahat, mereka pengontrol sosial dan wartawan dilindungi UU Pers no.40 tahun 1999. Namun jika mereka bersalah harus di pasrahkan ke Dewan Pers. Mereka bukan preman, teroris atau penjahat. Wartawan mitra kita” ujarnya.

Pidanakan wartawan harus melalui mekanisme dan diserahkan ke Dewan Pers. Karena itu, Devi Widowati berharap agar Kapolri dapat memberikan perlindungan hukum kepada suaminya.

“Suami saya sedang menjalankan profesi kewartawanannya, saya berharap suami saya mendapat perlindungan hukum dari Kapolri dengan memberlakukan UU dan MoU yang saya sebutkan tadi, saya mengadu karena dalam kasus ini polisi mengabaikan azas praduga tak bersalah,” tambah Devi.

Pada keterangan lainnya, Ketua Umum IPJI sangat menyayangkan sikap dari pengurus Dewan Pers yang fungsinya sesuai Pasal 15 ayat (2) Undang- Undang Pers, diantaranya melindungi kemerdekaan pers dari campur tangan pihak lain; memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers.

“Seharusnya, Dewan Pers pro-aktif menjalankan fungsinya dengan monitor setiap peristiwa yang menimpa wartawan,” tegas Taufik.

Terpisah, saat awak media mengkonfirmasi 11/5/2018 via Whatsapps, berniat mediasi dan komunikasi baik-baik untuk tidak dilanjutkan proses hukum Slamet Maulana alias Ade tidak dihiraukan oleh Kompol. Muhammad Harris SH.SIK.MIK selaku Kasat Reskrim Polresta Sidoarjo, hingga berita ini di terbitkan tidak ada jawaban, Namun Harris malah mengirimkan ucapan lebaran. (rn/red)

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama