-->

"Papi Mami Masuk Desa " Oleh Muhammad Naf'an Sholahuddin (Gus Naf'an)




KEDIRI, TRIBUNUS.CO.ID - Anak-anak di Desaku sekarang sudah pada pegang Smartphone dan bahasa mereka pun perlahan semakin berubah. Ada temanku yang bekerja sebagai kuli bangunan dan kini ia dipanggil "Papi" oleh anak-isterinya, sehingga ia pun ganti memanggil isterinya dengan sebutan "Mami".

Jadi kalau pagi-pagi ia berangkat kerja, anaknya tanya: "Papi mau kemana?"  Jawabnya: "Papi mau macul nak." Setelah ia pulang kerja dan sore harinya keluar lagi dengan membawa celurit, anaknya tanya lagi, "Papi mau kemana sore-sore gini?" Jawabnya: "Papi mau ngarit nak."
"Lha mami dimana, Pi?" tanya anaknya lagi.
"Itu Mami lagi makani wedhus.
Dan sepertinya hal itu juga terjadi di daerahmu. Bukannya tidak boleh, setiap orang sah-sah saja mau pakai istilah apapun untuk memanggil anggota keluarganya. Dan itu tidak melanggar HAM maupun undang-undang yang berlaku.

Tetapi coba sekali-kali dengarkanlah jika barangkali di sekitarmu ada percakapan seperti itu. Lalu rasakanlah secara pelan-pelan melalui batinmu yang jernih. Dalam hitungan detik engkau pasti akan merasa: agak-agak gimana gitu.

Jika ada anak orang Arab memanggil ibunya dengan sebutan emak, itu sah-sah saja dan tidak ada yang melarang. Apabila ada anak orang Inggris yang memanggil kakeknya dengan sebutan mbah, itupun juga tak ada sanksi hukumnya dan tentu boleh-boleh saja. Its no problem.

Dulu di Kwitang, Jakarta, ada seorang arab tua yang sangat baik kepada orang-orang di sekitarnya, namanya Syech Ali Abdurrahman Al-Habsyi. Hampir setiap hari rumahnya di datangi oleh banyak tamu yang bersilaturahmi. Ketika di rumah, cucu-cucu beliau memanggil beliau dengan sebutan bib.. habib... Sehingga para tamu yang datang akhirnya juga ikut-ikutan memanggil Habib.

Nah, sejak saat itulah orang-orang jadi terbiasa jika bertemu dengan orang arab selalu memanggil dengan sebutan Habib.
Di desaku yang cukup ndeso itu juga ada anak yang memanggil ayahnya dengan panggilan daddy, meskipun nama asli ayahnya adalah Pak Mul. Lantas ada tetangganya yang bertanya kepada anak itu, memangnya ayahmu Deddy Dores apa Deddy Mizwar? lalu tetangga yang lain ada yang menjawab, Mungkin Deddy Dukun.
Ya, itulah salah satu realita yang terjadi. Sebuah keniscayaan yang terimplikasi pada sebuah bangsa yang amat besar dan sangat toleran terhadap budaya dari manapun saja.

Tetapi jika engkau adalah orang yang masih memiliki “kepekaan rasa” terhadap nilai-nilai estetik budaya lokal, coba rasakan dan hayatilah jika bertemu dengan peristiwa akultural semacam itu.
Proses akulturasi telah berlangsung sejak sekian puluh tahun belakangan ini, tanpa terasa, dan melalui berbagai bidang kehidupan. Bahkan saat  ini sudah langka sekali ada anak di desaku yang bernama Slamet, Sugeng, Raharjo, Kusumo, dan lain sebangsanya.

Dewasa ini desaku menjelma menjadi sebuah kota kecil yang semakin akrab dengan panorama life-style modern. Contoh kecilnya ya berupa itu tadi: “Papi Mami masuk desa”. Dan semua yang terjadi adalah akibat, bukan sebab.
Semua hal boleh-boleh saja dan monggo-monggo saja. Tidak ada paksaan dalam hidup ini, yang ada adalah keterpaksaan oleh karena kepepet keadaan. Ada yang mau ikut trend ala barat yang terus update ya monggo dan yang tidak mau ikut-ikutan trend karena memang secara finansial tidak nutut ya silahkan berlagak pakai sarung. Semua sah-sah saja.

 Terus begini, apabila Nabi Muhammad adalah seorang yang mencintai arab, jika John F. Keneddy adalah seorang yang mencintai Amerika, dan Mahatma Gandhi adalah seorang yang mencintai Hindustan, lantas apakah kita sebagai bangsa Indonesia sudah benar-benar mencintai yang “orisinil” dari Nusantara?
Di mana rasa syukur kita kepada Tuhan yang telah menakdirkan kita terlahir dan hidup menjadi orang Indonesia?

Kalau kita mau belajar sejarah, bangsa besar adalah bangsa yang menjunjung tinggi sejarahnya. Atau dengan kata lain tidak ada bangsa besar yang meninggalkan nilai-nilai tradisinya. Tradisi yang positif tentunya. Ketika suatu kearifan lokal bertaut dengan nilai-nilai agama dirawat dan ditancapkan ke dalam jiwa-jiwa generasi bangsa, maka perlahan bangsa tersebut akan bertumbuh menuju kebesarannya.

Dan ketika budaya lokal sudah tergerus habis oleh sikap adopsi yang berlebihan terhadap budaya dan bahasa asing, maka di situlah sebuah bangsa akan mudah dijajah dan mudah dipermainkan manusianya.

Mari belajar kepada peristiwa kehancuran berbagai bangsa maupun kerajaan yang terjadi pada masa-masa yang lalu. Tidak ada bangsa yang hancur disebabkan oleh karena krisis intelektual. Semua bangsa yang mengalami “gulung tikar” disebabkan oleh merebaknya krisis moral dan mental pada generasi bangsanya. Pada dimesi moral dan mental inilah agama beserta kearifan lokal sangatlah berpengaruh. Jika suatu bangsa sudah kehilangan tradisinya, maka tunggulah saat di mana ajal tiba.

Tradisi adalah benteng terkuat dalam melindungi eksistensi sebuah bangsa dan peradaban.
Apabila harimau engkau asuh dengan cara-cara mengasuh kucing, maka jangan harap kelak macan tersebut akan menjadi kuat, garang dan pemberani. Macan sudah kehilangan ke-macanan-nya. Kalau istilah orang Jawa: wong jowo tapi wis ora njawani. Dan bangsa ini kelak mau jadi seperti apa ya terserah kepada kalian semua dan kehendak Tuhan. Mau kalian jadikan burung garuda atau burung emprit ya terserah pada cara kalian dan para pemimpin dalam menjaga dan merawat budaya asli kita.


Jati diri bangsa ini terletak pada tanah, air, agama, dan sejarah peradabannya. Jika kalian meninggalkan hal itu juga tidak mengapa, toh masing-masing juga akan menanggung akibat sendiri dari ketidaktahuannya. Banyak kejadian orang yang kehilangan harta bendanya disebabkan karena tidak tahu bahwa orang yang ia sangka sebagai tamu yang ramah ternyata adalah perampok yang handal. Dan katanya hidup adalah pilihan. Mau pilih jadi burung garuda atau mau jadi manuk emprit? Mau jadi pemimpin yang adil, atau mau jadi penjajah yang kapital, atau mau terus saja jadi tumbal-tumbal kekuasaan?

Karena sesungguhnya tidak ada orang goblok di dunia ini. Yang ada adalah orang yang ngerti dan yang belum ngerti. Orang yang tahu dan yang tidak mau tahu. Dan aku pun masih akan menikmati pemandangan sang Papi lagi macul di sawah. (har/rianto)

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama