-->

Apakah Mobil Harus Selalu Mengalah Saat Laka Lantas Dengan Motor?

“Kecelakaan Lalu Lintas adalah suatu peristiwa di Jalan yang tidak diduga dan tidak disengaja melibatkan Kendaraan dengan atau tanpa Pengguna Jalan lain yang mengakibatkan korban manusia dan/atau kerugian harta benda.”

Dari definisi kecelakaan lalu lintas di atas dapat diketahui bahwa kecelakaan lalu lintas itu dapat saja terjadi secara tidak diduga dan tidak disengaja yang melibatkan kendaraan atau pengguna jalan lain. Dengan demikian, Anda dapat saja diduga terlibat dalam kecelakaan yang menyebabkan pengendara motor lain terpental dan terluka karena bagaimanapun juga luka yang dialami pengendara motor tersebut adalah akibat dari menabrak mobil Anda. Oleh karena itu, untuk menjawab pertanyaan Anda apakah hal seperti itu layak diproses secara hukum, maka kami berpendapat bahwa hal tersebut dapat saja diproses secara hukum oleh pihak yang merasa dirugikan akibat kecelakaan ini. Jika memungkinkan, sebaiknya masalah tersebut diselesaikan secara kekeluargaan antara Anda dengan pengendara motor.

Pada sisi lain, jika ditinjau dari hukum pidana, kelalaian yang berakibat orang lain mengalami luka diatur dalam Pasal 360 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang menyatakan:

”Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp4.500.”

Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal 248-249), maksud dari pasal ini adalah seseorang karena kesalahannya yang menyebabkan orang lain mengalami luka berat atau luka yang menyebabkan jatuh sakit atau terhalang pekerjaan sehari-hari. Mengenai penggolongan luka berat dan luka ringan dalam kecelakaan lalu lintas, sebagai informasi Anda dapat membaca Batasan Luka Berat dan Luka Ringan dalam Kecelakaan Lalu Lintas.

Berdasarkan cerita Anda, pengendara motor tersebut menuntut ganti rugi kerusakan dan biaya pengobatan. Jika pengendara motor tersebut terpental dan berakibat ia menderita sakit yang tidak memerlukan perawatan inap di rumah sakit atau selain yang diklasifikasikan dalam luka berat, maka luka tersebut tergolong sebagai luka ringan (Penjelasan Pasal 229 ayat UU LLAJ).

Untuk itu kami berasumsi bahwa terpentalnya pengendara motor tersebut tidak mengakibatkan luka yang berat bagi dirinya, melainkan hanya mengalami luka ringan sehingga ancaman pidana bagi Anda yang mengakibatkan kecelakaan lalu lintas dengan korban luka ringan dapat dilihat pada ketentuan dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ, yang menyatakan:

“Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (3), pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp8.000.000,00 (delapan juta rupiah).”

Namun, sangat tidak adil apabila semua kesalahan atas kecelakaan lalu lintas tersebut harus ditimpakan seluruhnya kepada Anda. Jika dilihat dari sisi Anda, Andapun sebenarnya dapat menuntut pengendara motor karena mobil Anda turut mengalami kerusakan di bagian spion. Pasal 229 ayat (1) UU LLAJ berbunyi:

“Kecelakaan Lalu Lintas digolongkan atas:
1. Kecelakaan Lalu Lintas ringan

2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang atau

3. Kecelakaan Lalu Lintas berat.”

Kemudian Pasal 229 ayat (2) UU LLAJ berbunyi:
“Kecelakaan Lalu Lintas ringan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.”

Lebih lanjut, Pasal 229 ayat (5) UU LLAJ berbunyi:

- “Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian Pengguna Jalan, ketidaklaikan Kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau lingkungan.”

- Kerusakan spion yang dialami mobil Anda jika mengacu pada pasal-pasal di atas tergolong kecelakaan lalu lintas ringan yang disebabkan oleh pengendara motor yang melaju dalam keadaan jalanan rusak (tidak layak).

Perihal pertanggungjawaban terhadap kecelakaan lalu lintas ini diatur dalam Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang berbunyi:

“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/ atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/ atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.”

Dengan demikian, pengendara motor yang merusak bagian spion mobil Anda juga dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian kerusakan yang Anda derita.

Mengenai pertanyaan Anda apakah pengguna mobil harus selalu mengalah untuk menanggung biaya pengobatan dan kerugian kerusakan kendaraan, hal tersebut tidaklah benar. UU LLAJ menindak siapapun pengguna jalan yang terlibat dalam kecelakaan yang menyebabkan luka pada seseorang dengan tidak memandang apakah pelakunya adalah pengendara motor maupun pengendara mobil. Namun, untuk menentukan kemudian apakah Anda bersalah atau tidak, hal itu harus dibuktikan di persidangan. Hakim pula lah yang memutus berapa besarnya ganti rugi yang wajib dibayar oleh pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas (Pasal 229 UU LLAJ). Selain melalui putusan pengadilan, penyelesaian ganti kerugian juga dapat dilakukan di luar pengadilan jika terjadi kesepakatan damai di antara pihak yang terlibat (lihat Pasal 236 ayat UU LLAJ). Jadi, selain melalui proses hukum di pengadilan, penyelesaian ganti kerugian dapat diperoleh melalui cara negosiasi di antara para pihak yang terlibat.

Sekedar informasi, UU LLAJ telah mengatur siapa pengguna jalan yang wajib diprioritaskan keselamatannya. Dalam UU LLAJ, ada ketentuan yang mewajibkan setiap pengguna kendaraan bermotor untuk memprioritaskan (mengutamakan keselamatan) pengguna jalan lain, yakni pejalan kaki dan pesepeda sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (2) UU LLAJ.

Kewajiban bagi pengguna kendaraan bermotor untuk memprioritaskan keselamatan pejalan kaki terdapat dalam 116 ayat (2) huruf f UU LLAJ, yang mengatakan bahwa pengemudi harus memperlambat kendaraannya jika melihat dan mengetahui ada pejalan kaki yang akan menyeberang. Hak-hak pejalan kaki juga telah diatur dalam Pasal 131 UU LLAJ yang berbunyi:

-Pejalan Kaki berhak atas ketersediaan fasilitas pendukung yang berupa trotoar, tempat penyeberangan, dan fasilitas lain.

-Pejalan Kaki berhak mendapatkan prioritas pada saat menyeberang Jalan di tempat penyeberangan.

Dalam hal belum tersedia fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejalan Kaki berhak menyeberang di tempat yang dipilih dengan memperhatikan keselamatan dirinya.

Diprioritaskan keselamatan pesepeda juga merupakan kewajiban pemerintah untuk memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda (Pasal 62 ayat UU LLAJ) dan pesepeda juga berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas (Pasal 62 ayat UULLAJ). Menurut penjelasan Pasal 62 ayat (2) UU LLAJ,Yang dimaksud dengan “fasilitas pendukung” antara lain berupa lajur khusus sepeda, fasilitas menyeberang khusus dan/ atau bersamaan dengan Pejalan Kaki.

Sanksi bagi mereka yang tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda terdapat dalam Pasal 284 UU LLAJ, yakni dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Dasar hukum:
-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht) Staatsblad Nomor 732 Tahun 1915
-Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

Referensi:
R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama