-->

Wajar Sajah Kasus Korupsi Semakin Meningkat

TRIBUNUS.CO.ID - KORUPSI’yang nyaris tak terkendali di Indonesia ini karena ladang persemaiannya sangat subur dan obat “antihama”-nya pun tak manjur. Sudah sering dikatakan para pegiat antikorupsi, sistem dan tata kelola pemerintah kita memberi peluang bagi pencuri uang rakyat itu untuk merajalela. Moral hazard pengelola negara pun setali tiga uang. Sanksi sosial praktis tak berlaku. Buktinya koruptor yang tertangkap KPK bisa menebar senyum ketika digelandang ke pemeriksaan atau persidangan. Itu menunjukkan, korupsi bukan sesuatu yang memalukan. Belum lagi pengenaan hukuman pidana yang alakadarnya.

Coba simak penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) yang disampaikan pekan lalu. Sangat menyedihkan. Menurut peneliti ICW Kurnia Ramadhana,  rata-rata vonis kepala daerah di tingkat pengadilan negeri adalah 5 tahun penjara. Dari 84 perkara kepala daerah, 41 divonis ringan 0-4 tahun.

Mengapa? Karena rupanya tuntutan KPK pun tak berat-berat amat. Tuntutan pidana penjara hanya rata-rata 7 tahun 5 bulan penjara. Tuntutan pencabutan hak politik, ternyata hanya 32 orang yang dituntut pencabutan hak politik oleh jaksa KPK dari 84 kepala daerah itu. Dan dari 32 itu, hanya 26 orang yang pencabutan hak politiknya dikabulkan hakim.

Sedangkan untuk pelaku korupsi secara umum, pengadilan tipikor rata-rata menjatuhkan hukuman selama  26 bulan penjara. Itu disimpulkan dari 573 putusan kasus korupsi yang dikeluarkan pengadilan tingkat pertama, pengadilan tingkat banding, dan Mahkamah Agung pada 2016.

Lalu bagaimana dengan pidana denda dan pidana uang pengganti? Ternyata sama-sama memilukan juga. Pada 2017, ada 1.381 terdakwa  dari 1.249 perkara, dengan total pidana denda yang dikenakan hanya sebesar Rp110.688.750.000, dan total pidana tambahan uang pengganti Rp1.446.836.885.499. Padahal, ICW mencatat, jumlah kerugian negara dari kasus-kasus itu tercatat sebesar Rp6,5 triliun.

Ini menunjukkan bahwa hakim di pengadilan tipikor belum berada dalam perspektif urgensi dan kedaruratan melawan korupsi. Dalam hal ini hakim tipikor mesti berkaca kepada hakim di Pengadilan Tinggi Militer II Jakarta yang menjatuhkan hukuman seumur hidup terhadap Brigjen TNI Teddy Hernayadi dalam kasus korupsi alutsista TNI. Padahal Oditur Militer hanya menuntut Teddy dipidana 12 tahun penjara.

Kita tidak hendak mendikte hakim tipikor. Hakim, sesuai undang-undangnya, adalah kekuasaan yang merdeka. Hakim juga wajib bersikap adil dengan perspektif praduga tak bersalah. Perspektif ini tentu berbeda dengan perspektif penyidik dan penuntut yang secara naluriah harus ofensif. Naluri ofensif ini mutlak hukumnya untuk mengimbangi terdakwa dan pembelaannya yang tentu saja defensif, apalagi undang-undang menjamin mereka mempunyai hak ingkar sebagai bagian dari prinsip non self-incrimination.

Tetapi, perlu diingat, pembentukan pengadilan tipikor berdasarkan UU Nomor 46 Tahun 2009 itu berada dalam semangat pemberantasan korupsi. Jadi, prinsip praduga tak bersalah tidak bisa dipahami secara mentah.

Pengadilan tipikor ini kerap luput dari setiap pembahasan mengenai pemberantasan korupsi, karena seluruh mata tertuju kepada KPK. Padahal seluruh hasil kerja KPK bisa tidak ada artinya, jika hakim tipikor tidak memutus perkara dengan semangat pemberantasan korupsi. Semangat itulah yang kurang terlihat. Itu sebabnya banyak terdakwa korupsi yang divonis bebas. Atau kalaupun dijatuhi hukuman pidana, vonisnya rata-rata tak jauh di atas pidana penjara minimal. Bahkan sejumlah hakim tipikor ditangkap karena disuap koruptor.

Kita harus memahami peta pemberantasan korupsi secara komprehensif. Tanpa bermaksud hendak membela KPK, tetapi salah kaprah jika kita meletakkan beban tanggung jawab hanya ke pundak KPK.

KPK memang mempunyai tugas dan fungsi yang komplit. Lembaga ini bertugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan kasus korupsi. KPK juga melakukan koordinasi dan supervisi dengan instansi lain. Karena kewenangannya yang luas itu, tanggung jawab dibebankan sepenuhnya kepada KPK.

Namun, dalam rangkaian proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, KPK hanya berperan sampai tahap penuntutan. Puncak proses di tangan KPK adalah pelimpahan perkara ke pengadilan tindak pidana korupsi, sebagai satu-satunya pengadilan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.

Jika hakim tipikor tidak progresif, kita melihat bayangan buram dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Terlepas dari perdebatan tentang berbagai teori pemidanaan, politik hukum kita harus mampu mengantarkan bangsa ini ke satu titik kesejahteraan yang jalan menuju ke  arah itu selalu dirusak oleh para koruptor.

Pewarta : rn
Sumber : nusantara.news

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama