-->

Pertemuan 7 Aktivis Tahun 2015 Versi Ahli Kejiwaan Terkenal Bali Profesor Luh Ketut Suryani

Profesor Suryani [foto: istimewa]


KLUNGKUNG, BALI - Dugaan kasus pelecehan seksual anak di bawah umur di sebuah ashram, tahun 2015 disinyalir telah dibahas. Bertempat di rumah Psikiater ahli Kejiwaan, Profesor Luh Ketut Suryani, kasus pedofilia ini sempat didiskusikan oleh 7 aktivis perlindungan perempuan dan anak.

Seperti kita ketahui, pengakuan ini disampaikan oleh Siti Safura alias Ipung. Menurutnya, pada Maret 2015 ia dkk diundang di rumah Prof Suryani SPKJ. Tepatnya di Jl Gandapura 30 Denpasar Timur, melalui BBM oleh Luh Putu Anggreni.

“Saat itu yang diundang selain saya Dari LBH APIK, Ni Nengah Budawati SH, selaku Direktur LBH APIK, hadir bersma stafnya Elin. Ada juga dari LBH Bali yang hadir yakni Sitamerti dan Vany,” ungkapnya.

“Kemudian dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Propinsi Bali yang hadir Advokat Sukawati. P2TP2A Kota Denpasar yang hadir Anggreni dan saya. Anggreni selaku Ketua harian P2TP2A Kota Denpasar. Selanjutnya dari Manikaya Kauci yang hadir Advokat I Nengah Suardika, SH. Saat itu acara pertemuan dibuka oleh Prof Suryani. Selain sebagai Psikiaternya korban, ia juga punya LSM yang bergerak menangani kasus pedofilia,” ujar Ipung.

Saat itu Prof Suryani mengatakan ini peristiwa sudah sering terjadi dan terulang kembali. “Namun kita harus hati hati menyikapi, karena dia adalah seorang tokoh, namun sekarang ada korban di tangan saya,” kata Ipung, menirukan ucapan Prof Suryani.

“Lalu Prof Suryani bicara ke saya. Ipung sepertinya kamu yang paling paham tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak. Coba kamu pelajari dokumen yang ada pada saya. Saat itu pun Prof Suryani menyerahkan semua dokumen yang ada di tangannya ke aku. Lalu saya baca satu persatu dokumen tersebut ada empat lembar,” ungkap Ipung.

Dikatakan Ipung, dokumen pertama berisi surat pernyataan yang dibuat oleh AIU selaku pemilik dan guru di ashram yang mengatakan bahwa ia mengakui semua perbuatannya dan meminta maaf, tidak akan mengulangi lagi perbuatannya. Surat tersebut ditanda tangani oleh AIU sendiri.

Menurut Ipung, dokumen ke dua berisi surat pernyataan bahwa AIU bersedia keluar dari Ashram Gandhi Puri Sevagram dan tidak lagi menjadi Guru Ji di ashram. Surat itu juga ditandatangani oleh AIU.

Dokumen ke tiga, lanjut Ipung, berisi surat pernyataan yang dibuat oleh Dave Fogarty. Ia adalah seorang WNA yang merupakan donatur tetap di ashram dan sempat tinggal di ashram bersama istri dan anaknya. Surat tersebut berbunyi bahwa Dave bersedia memberi keterangan jika kasus ini dibawa ke polisi.

Dave lah orang yang membawa 4 orang anak yang jadi korban untuk keluar dari ashram dan dibawa ke rumah Prof Suryani guna mendapatkan pemulihan secara psikologi.

Setelah dikonfirmasi berulangkali, akhirnya ahli Kejiwaan terkenal asal Bali ini pun terkesan geram namanya dimediakan. “Ono (nama wartawan kabaRI.id) yang baik. Saya bukan yang membuka kasus ini. Dan saya tidak bisa menyatakan ada kasus tersebut kalau saya tidak melihat langsung. Pemberitaan selama ini yang selalu mengkaitkan nama saya, sebenarnya membuat saya marah dan tidak terima apabila dikaitkan dengan kasus ini. Tapi saya diam, karena saya tidak ingin merusak, mencemari dan membuat malu orang orang tersebut. Dan terbukti dengan terbitnya surat dari kepolisian, saya berharap polemik terhadap kasus ini bisa selesai. Tetapi kenyataannya banyak pihak pihak yang berusaha memanfaatkan situasi tersebut untuk mencari panggung dan pemberitaan untuk kepentingan pribadi dan golongan. Kalau anda berkata tentang karma, saya tidak akan pernah menghakimi pemikiran anda tentang karma. Silahkan pikirkan sendiri karma apa yang pantas untuk anda terkait pemikiran anda terhadap tindakan saya. Terkait saya dibilang menutupi kasus ini, sama halnya dengan sikap kepolisian dan sudah saya sebutkan di atas. Terima kasih,” papar Suryani.

Ditanya terkait pemberitaan yang ditulis oleh sebuah media online klikriau.com, dengan judul “Tokoh Spiritual di Bali Diduga Lakukan Pedofilia” terbit pada Selasa tgl 5 Mei 2015 sebagaimana termaksud dalam http://m.klikriau.com/read-19403-2015-05-05-tokoh-spiritual-di-bali-diduga-lakukan-pedofilia.html#sthash.Y6K6xNR3.dpbs, dengan enteng Suryani malah memberikan rilis dari Polda Bali tertanggal 20 Februari 2019. “Ono yang baik, silahkan dibaca yang baik,” pinta Suryani, Senin 4/3/2019 pukul 13.32

Begitu pula dengan Luh Putu Anggreni dari LBH APIK. Kepada kabaRI.id ia juga tidak sepakat dengan pernyataan Ipung.

“Senin tanggal 4 jam 12.00 wita, kami buat diskusi lengkap tentang hal ini di Kubu Kopi. Mungkin anda bisa dengar langsung sikap semua aktivis anak. Edukasi tentang apa itu pedofilia,” kata Anggreni.

Diskusi bertempat di Kubu Kopi tersebut boleh dibilang lancar. ” Acarnya berhasil, karena ada pakar pakar yang bicara dari sisi psikolog tentang korban pedofil. Tentang hukum perlindungan saksi korban, tentang karakter pelaku pedofil, advokasi penanganan kasus pedofil yang pernah dilakukan,” tandas Angreni.

“Kita tidak masuk dalam ranah polemik kasus, tetapi tetap saja kawan kawan wartawan penasaran terhadap dugaan kasus 2015 ketika kawan aktivis diundang untuk bahas kasus GI (AIU). Tetap saja sama dengan yang dulu, dimana kami LBH APIK sama sekali tidak mampu menghadirkan korban, sehingga saat itu hanya konsultasi kasus, Senin (4/3) pukul 17.09

Anggreni mengakui ada pertemuan pada Maret 2015 di rumah Suryani. “Waktu itu rame. Ada semua kawan tersebut, tetapi kami tidak melihat ada 4 korban. Di situ tidak tahu kalau surat itu dikasih ke Ipung, dan dibaca Ipung. Dengar memang ada persoalan antara Dave dengan Gus Indra, dari cerita ibu prof,” ulas Anggreni, pukul 17.57.

“Sebenarnya kita semua serius ingin kasus ini terungkap. Cuma kita harusnya ketemukan korban dulu agar ada di pihak kita. Ini pengalaman kami sangat berat dampingi pedofil. Kami tidak bisa ribut tuduh orang tanpa pegang korban,” pungkas Anggreni, Senin (4/3) pukul 18.04 via whatsapp.

(Hartanto-Ono)



0 Komentar

Lebih baru Lebih lama