-->

Vitamin Jurnalis, Perlu Belajar Jadi Editor



Oleh : Yunanto

Tribunus.co.id, Malang - Sore itu seorang jurnalis muda bertandang ke rumah saya. Ia mengajak diskusi bertajuk naskah berita pressklaar. Artinya, naskah berita yang siap cetak, siap tayang atau siap rilis dengan nyaris tanpa salah.

Saya turuti kemauannya. Santai saja, saya senang berbincang dengan orang muda yang haus ilmu. Konteks perbincangan sore itu, disiplin Ilmu Jurnalistik sebagai bagian dari disiplin Ilmu Publisistik Praktika.

Hal yang ia pertanyakan sederhana. Intinya, bagaimana strategi menyusun naskah berita pressklaar. Jawaban saya pun sederhana agar mudah dicerna. Paling mudah tentu dengan ilustrasi plus contoh konkret.

Lihat Tengkuk
"Apakah Anda bisa melihat tengkuk Anda sendiri?"
Itu pertanyaan awal yang saya lontarkan.

"Tidak bisa, Pak," jawab jurnalis muda itu, singkat.

"Sebaliknya, apakah Anda bisa melihat tengkuk orang lain?"

"Bisa, Pak. Gampang," sahut jurnalis muda itu cepat.

"Itu manusiawi. Selalu sulit melihat kesalahan pada diri sendiri. Sebaliknya, terlalu mudah dan cepat melihat kesalahan orang lain," respon saya. Ia diam. Merenung.

Nah, barulah saya masuk ke topik ihwal naskah berita pressklaar. Galibnya, menemukan kesalahan pada naskah berita karya sendiri nyaris sulit. Sebaliknya, mengoreksi dan mencari kesalahan pada naskah berita karya orang lain, terasa gampang.

"Maka, strateginya, perlakukanlah naskah berita karya Anda itu seolah-olah  karya orang lain," demikian pesan saya.

Ia bertanya, "Konkretnya bagaimana, Pak?"

Saya jelaskan.  Setelah Anda selesai menulis satu item naskah berita, berhentilah. Lupakan bahwa Anda telah membuat naskah berita. Lupakan satu-dua jam.

Lakukan aktivitas lain yang tidak ada sangkut-pautnya dengan naskah berita yang Anda lupakan itu. Sampai Anda benar-benar lupa telah memproduksi  (menulis) naskah berita tersebut.

Selanjutnya simaklah naskah berita tersebut secara serius. Yakini, naskah berita itu hasil karya orang lain. Bukan karya Anda! "Pelototi", cari, temukan segala macam kesalahan di naskah berita tersebut. Salah tulis ejaan, salah tulis kata baku, kata depan, kata sambung, kata sandang hingga akurasi penulisan huruf kapital.

Pendek kata, "hajar habis-habisan" segala bentuk kesalahan naskah berita tersebut. Mulai dari kepala (judul) hingga ekor naskah. Jangan beri ampun pada kesalahan di naskah berita itu, sekecil apa pun.

Parameter Penyuntingan
Setelah sederet kesalahan tulis di naskah berita tersebut Anda temukan, mulailah belajar menjadi editor, menyunting (editing) naskah berita.

Tentu, ada parameter penyuntingan yang harus Anda terapkan, setelah membaca tuntas naskah berita itu. Parameter dimaksud secara runtun sebagai berikut:

 Pertama, cermati dan simpulkan keamanan publikasi. Maknanya, naskah berita tersebut bila dipublikasikan aman atau tidak? Aman dari aspek hukum publik (hukum pidana) dan dari aspek hukum privat (hukum perdata).

Misal, ada kemungkinan dipidanakan atau digugat (perdata) oleh pihak yang terkait dengan pemberitaan itu, peluang Anda "kalah" atau "menang" harus diperhitungkan cermat dan matang.
Jika Anda sudah yakin aman, editing jalan terus. Bila Anda tidak yakin atau ragu-ragu, jangan dipublikasikan. Sempurnakan dahulu naskah berita itu dengan memperkuat konfirmasi untuk menutup celah dipidanakan atau pun digugat.

Kedua, prediksikan secara rasional kegunaan atau manfaat naskah berita tersebut bagi sebanyak-banyaknya khalayak komunikan media Anda. Semakin banyak khalayak komunikan media merasa berita tersebut bermanfaat bagi mereka, maka semakin tinggi nilai beritanya (news value). Misal, berita tentang harga BBM akan naik mulai pukul 24.00 tengah malam nanti.

Ketiga, perhitungkan daya pengaruh naskah berita itu bila dipublikasikan. Ada yang daya pengaruhnya lokal; misal berita tentang plafon gedung DPRD Kota Batu bocor, tidak ditangani.
Ada daya pengaruh regional; misal Gubernur Jatim Khofifah Indarparawansa meresmikan pembangunan jembatan di perbatasan Kabupaten Kediri dengan Kabupaten Malang.
Ada yang berdaya pengaruh nasional; misal buron teroris Poso tertangkap di Malang Selatan.
Ada yang berdaya pengaruh internasional; misal Sekjen PBB mengunjungi korban bencana alam banjir dan tanah longsor di Malang Selatan.

Ingat, makin luas area daya pengaruh suatu berita, makin tinggi nilai beritanya. Berita yang berdaya pengaruh nasional tentu nilai beritanya lebih tinggi daripada yang berdaya pengaruh lokal.

Keempat, sempurnakan etika penulisan karya jurnalistik dan estetika tata bahasa jurnalistik dengan memedomani kaidah Bahasa Indonesia Jurnalistik (BIJ). Setiap kalimat berkaidah BIJ harus singkat, padat, lugas, logis, mudah dicerna dan dipahami maknanya.

Lakukan hal itu mulai dari kalimat judul naskah berita. Etikanya, kalimat judul tidak boleh terlalu panjang (lebih dari delapan kata); judul harus diperas dari teras berita (alinea pertama atau lead); judul harus "menampar" (memikat) khalayak komunikan media. Taati penulisan kata baku dan tanda-tanda baca pada kalimat judul.

Bila "tata krama" kalimat judul tersebut telah terpenuhi, masuklah pada
penyuntingan tubuh naskah berita. "Kompas" yang harus Anda pergunakan adalah BIJ. Sekali lagi, cermati secara serius penerapan kaidah kalimat singkat, padat, lugas, logis, mudah dicerna dan dipahami.

Jangan menenggang (memberi toleransi) kalimat-kalimat panjang. Estetika ideal, satu kalimat maksimal terdiri atas 20 kata. Bila lebih dari 20 kata, tergolong kalimat panjang. Berpotensi sulit dicerna, sulit dipahami. "Bantai" (potong) kalimat panjang menjadi dua-tiga kalimat.
Yakinlah, kalimat pendek itu "cantik".

Terakhir, buatlah "catatan kecil" tentang kerja penyuntingan tersebut. Sekali lagi, Anda harus menganggap naskah yang Anda sunting ( edit) itu naskah karya jurnalis lain. Bukan karya Anda.

Tuliskan dalam "catatan kecil" itu semua kesalahan secara rinci dan runtun. Lebih bagus disertai parameter kesalahannya. Di hilir catatan itu tuliskan pesan: "Jangan ulangi kesalahan-kesalahan tersebut".

Lakukan proses belajar menjadi editor itu secara berulang-ulang. Dahulu, saya pun belajar dengan metode seperti itu.

Senja jatuh.
Magrib menjelang.
"Terima kasih, Pak. Kali lain dilanjutkan. Saya mohon pamit," kata jurnalis muda itu seraya meninggalkan rumah saya.
            * * * * *
Catatan:
Penulis alumni Sekolah Tinggi Publisistik - Jakarta; mantan wartawan dan editor di Harian Sore "Surabaya Post" (1982 - 2002).

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama