-->

Kekejaman Amangkurat I Membunuh Ribuan Ulama Dan Kelompok Anti Penguasa




Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar yang tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Sultan Agung menaruh perhatian besar pada kebudayaan Mataram. Ia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistik, berjudul Sastra Gending. (sumber: Wikipedia)


Namun sepeninggal Sultan Agung, Mataram mengalami kemunduran hingga masa keruntuhannya. Sunan Amangkurat I, penerus Sultan Agung, justru membawa Mataram pada sejarahnya yang paling kelam. Dalam kitab Babad Tanah Jawi karangan Meinsma, masa pemerintahan Amangkurat I digambarkan sebagai berikut:

“Ketika itu raja bertindak sekehendaknya sendiri, tidak seperti biasanya. Ia sering melakukan tindak kekerasan, dan selalu bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi gerhadan bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan bintang berekor terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan rusak.”

Ada empat episode yang ingin saya tuliskan, yang menandai sejarah kelam Sunan Amangkurat ketika memerintah Mataram.

1.Pemindahan ibukota dari Karta ke Plered

Sifat-sifat otoriter Amangkurat telah terlihat setelah ia terpilih jadi Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota kerajaan dari Kota Gede ke Plered tahun 1647 M. Kepada rakyatnya ia memerintahkan “Kamu semua harus membuat batu bata, karena saya mau angkat kaki dari Karta, saya ingin membangun kota di Plered” (Meinsma, 1874). Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat dari kayu, kali ini Amangkurat I membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi parit besar. Pada tahun 1668, ketika utusan Belanda, Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered, ia menggambarkan keraton tersebut sebagai sebuah pulau di tengah danau.

Pemindahan ibukota dengan bentuk keratonnya yang dikelilingi parit besar ini di kemudian hari ternyata secara tepat menggambarkan kepribadian Amangkurat yang terasing dari rakyatnya. Hal ini juga menandakan ketakutannya yang akut akan keamanan dirinya, yag sebenarnya merupakan buah dari pemerintahannya yang otoriter dan kekejamannya yang tak terperikan.

Sebuah laporan umum VOC di Batavia tahun 1659, menyatakan keyakinannya bahwa apabila peperangan terjadi, Sang Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar istana itu ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan sebagian kekuatan tentaranya kepada pembesar manapun, karena kelaliman pemerintahan yang dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap orang”. (sumber: Sejarah Gelap Mataram)


2.Korban-korban Pemerintahannya yang Otoriter

Masa pemerintahan Sunan Amangkurat I dipenuhi dengan drama politik yang mencekam. Siasat dan intrik politik, pengkhianatan, pembunuhan dan pemberontakan terjadi silih berganti. Pada masanya, banyak pembunuhan dilakukan untuk membungkam siapa saja yang menentang pemerintahannya. Sebaliknya, banyak pula pemberontakan yang dilakukan oleh penguasa lokal yang sebelumnya setia di bawah pemerintahan Sultan Agung.

Korban pertama pembunuhan yang dilakukan di awal pemerintahannya adalah Tumenggung Wiraguna, yang sebenarnya merupakan abdi dalem senior di masa Sultan Agung. Pada awal pemerintahannya, Amangkurat mengirim Tumenggung Wiraguna untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh. Tidak hanya itu, Amangkurat juga memerintahkan untuk membunuh semua yang terlibat mendukung Tumenggung Wiraguna.Perintah tersebut mengakibatkan terbunuhnya banyak wanita dan anak-anak yang tak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung.

Adik Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena sebenarnya ia termasuk ke dalam kelompok Tumenggung Wiraguna. Ketika seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai mendekati ulama-ulama untuk meminta perlindungan. Di saat yang sama ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk melancarkan serangan terhadap sang Kakak. Dalam sebuah pertempuran yang tak seimbang, pasukan Amangkurat dengan mudah menghabisi pasukan pendukung Pangeran Alit, hingga menyisakan Pangeran Alit seorang. Menurut catatan Belanda yang dipercaya, Amangkurat akhirnya membiarkan para mantrinya untuk membunuh Pangeran Alit atas alasan “pembelaan diri”. Dengan itu bersihlah tangan sang Amangkurat dari darah adiknya sendiri.

Pada tahun 1659, Amangkurat kembali melakukan pembunuhan. Kali ini terhadap mertuanya sendiri, Pangeran Pekik beserta anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan terhadap Amangkurat. Pangeran Pekik dari Surabaya dibantai bersama dengan sebagian besar anggota keluarganya pada 1659. Paman raja pun, yang merupakan saudara laki-laki Sultan Agung, Pangeran Purbaya, hampir saja dibunuh. Beruntung ibu suri kerajaan turun tangan untuk menyelamatkannya.

3.Ribuan Santri dan Ulama Dibantai

Kekejaman Amangkurat yang semakin merajalela tak hanya memperbanyak musuh dan melahirkan pemberontakan penguasa-penguasa lokal, namun juga menumbuhkan perlawanan rakyat. Dan perlawanan rakyat semakin menguat dengan dukungan moral dari para ulama. Terlebih, kekuasaan Amangkurat yang berkolaborasi dengan kepentingan VOC, semakin menambah kebencian dan perlawanan rakyat, yang didukung para ulama.

Puncaknya, karena perlindungan para ulama kepada Pangeran Alit, maka Amangkurat beralih mengarahkan permusuhannya kepada para ulama. Amangkurat I mendaftar para ulama terkemuka beserta keluarga dan pengikutnya. Mereka kemudian dikumpulkan di halaman istana lalu dibantai. Menurut seorang pejabat VOC Rijklof van Goens, antara 5000 dan 6000 orang pria, wanita, dan anak-anak tewas dalam peristiwa itu. (sumber: Amangkurat I, Raja Tiran dari Tanah Jawa)

4.Kematiannya yang Tragis

Di antara pemberontakan-pemberontakan yang muncul karena penentangannya terhadap kekuasaan Amangkurat, muncul kekuatan baru yang dipimpin Trunojoyo dari Madura menentang kekuasaan Mataram. Kekuatan Trunojoyo bertambah kuat seiring meningkatnya ketidakpuasan para pejabat dan masyarakat Mataram terhadap Amangkurat. Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC untuk membantunya. Pada bulan Desember 1676 VOC mengutus Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu angkatan perang Amangkurat. Sebagai gantinya, VOC menuntut Amangkurat mengganti kerugian perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya.

Singkatnya, tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunajaya berhasil mengalahkan kekuatan Mataram-VOC dan memasuki keraton Plered. Namun sebelumnya, Amangkurat I beserta beberapa anggota keluarga dan putranya telah melarikan diri dari Keraton, dan bermaksud menuju Batavia untuk berlindung ke Belanda. Sialnya, di Karanganyar, rombongan raja dirampok oleh warga desa yang tidak tahu identitas mantan junjungannya tersebut. Ia pun harus rela menyerahkan emas dan uang yang dibawanya.

Dalam pelariannya, Amangkurat I jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian putranya, Mas Rahmat. Meski demikian, ia tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai raja selanjutnya, tapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar. Akhirnya Amangkurat I meninggal di desa Wanayasa, Banyumas. Raja yang semasa jayanya pernah membantai ribuan ulama itu, dishalatkan lalu dibawa ke Tegalwangi. Pada 13 Juli 1677, Amangkurat I dikebumikan di Tegalwangi. Tiga belas serdadu VOC menghadiri pemakamannya.  (Wikipedia dan Sumber)


1 Komentar

Lebih baru Lebih lama