-->

Tak Wajar, Oknum BPR Mambal dan BPR Picu Cairkan Kredit Manipulatif Rp 2,3 Milyar Buat Nasabah Tak Mampu Bayar Hingga Meninggal Dunia


BADUNG- Oknum Orang Dalam  PT. BPR Picu Manunggal Sejahtera diduga terindikasi  melakukan permainan kotor terkait proses pencairan kredit atas nama Made Suka. 


Disebutkan, Made Suka dituduh meminjam uang Rp 800 juta di BPR Picu Manunggal Sejahtera. Padahal dirinya hanya seorang petani penggarap.


Sementara, keponakan sendiri juga dituduh meminjam uang Rp 1,5 Milyar di PT  Bank Perkreditan  Rakyat atau BPR Mambal.


Tak disangka, mertua anaknya sendiri yang memakai keperluan uangnya. Tragisnya, keponakan sendiri, Adi Putra Baskara meninggal dunia, gara-gara kepikiran masalah terbelit hutang piutang ini.


"Keponakan saya dan kakak kandungnya tidak pakai uang itu seribu rupiah pun, tidak pegang uang. Mertuanya  yang pakai uangnya dan juga bawa sertifikatnya. Dalam perhitungan keponakannya,  biar hubungannya baik dengan sang mertua dan juga tidak mungkin dikasi pinjam uang di bank dalam jumlah besar, begitu pertimbangan," kata Ketut Suwardiana selaku adik kandung korban Made Suka, saat dikonfirmasi awak media di Kabupaten Badung, Sabtu, 23 Maret 2024.


Dikatakan Ketut Suwardiana, keponakan sendiri tidak punya penghasilan yang memadai. Dengan hanya berpenghasilan Rp 2,4 juta per bulan sebagai pegawai villa, sehingga tidak memungkinkan untuk mendapat pinjaman kredit hingga  punya hutang sebesar Rp 1,5 Milyar di BPR Mambal.


"Dana cair cuma Rp 800 juta dan diendapkan di bank sebesar Rp 700 juta, dana itu sepeserpun tidak ada digunakan kakak saya, apalagi keponakan sendiri," tegasnya.


Namun, lanjutnya dalam perjanjian dibuat 

Surat Keterangan seolah-olah keponakannya memiliki Rent Car. Padahal tidak memiliki usaha mobil. Apalagi, hal tersebut tercantum dalam penjelasan PK yang menyebutkan sumber penghasilannya berupa Rent Car.


"Nama Rent Car tidak ada sama sekali, memang tidak ada punya  Rent Car dan diberikan sebuah mobil inova oleh pihak bank, tapi BPKB ditaruh di bank. Itu bank beri mobil, seolah-olah keponakannya punya Rent Car," paparnya.


Lucunya lagi, saat berperkara di Pengadilan Negeri (PN) Tabanan dinyatakan kalah. Padahal pihak Bank tidak pernah datang sama sekali, saat sidang justru bank yang  menang, padahal saat mediasi juga tidak datang dan pihak bank dipastikan menang.


Lebih jauh lagi, pihak bank bakal melakukan sita jaminan, karena sesuai informasi Panitera akan pindah. Namun, gagal melakukan sita jaminan di kantor desa, karena pihaknya bersikeras, bahwa orang-orang berkompeten yang berhak hadir justru tidak datang, sehingga proses sebenarnya tidak berjalan  sebagaimana mestinya. Namun, dipaksakan oleh Panitera untuk diselesaikan.


"Mereka turun lakukan pemeriksaan, saya hadang dan hampir  tarung dengan pengacara saat itu, karena pengacara yang tanda tangan surat tidak hadir, itu tidak boleh sebenarnya. Pihak Bank tidak hadir, kok bisa menang, gimana ini modelnya," tanyanya penuh nada heran.


Sementara, kakaknya yang tidak pernah datang ke bank malah dinyatakan punya hutang atas nama kakaknya sendiri di BPR Picu Manunggal Sejahtera yang ternyata diketahui satu manajemen dengan BPR Mambal yang juga sama kepemilikannya.


Anehnya lagi, kata Ketut Suwardiana, semestinya proses pencairan kredit dilakukan di lokasi bank bersangkutan. Namun, kakaknya justru disuruh tanda tangan oleh Notaris di rumahnya dengan proses pencairan sangat cepat sejumlah Rp 800 juta. Tak hanya itu, kakaknya Made Suka tidak mengetahui lokasi PT BPR Picu Manunggal. 


"Itu kejadiannya didepan mata saya, makanya saya tahu kakak saya punya hutang di Notaris. Paginya yang itu sudah cair, dan sorenya tanda tangan jam 5 sore, jumlahnya Rp 800 juta," ungkapnya.


Padahal, kakaknya tidak punya usaha apapun, karena dia seorang petani penggarap hanya memelihara sejumlah sapi.


"Masak dapat pinjam uang Rp 800 juta, itu logikanya tidak masuk akal," ketusnya lagi, dengan nada jengkel.


Anehnya, oknum BPR tersebut yang diduga melakukan manipulasi dengan sistem pembayaran yang dipakai pengembaliannya dengan jaminan usaha berupa UD. Intan. Sedangkan, setelah dicek keberadaannya di Desa Cepaka, Tabanan tidak ada alias fiktif usaha UD. Intan.


"Sudah saya cari Surat Keterangan, bahwa di daerah kami memang tidak ada UD. Intan di Desa Cepaka, Tabanan. Hal itu sudah dibuatkan Surat Keterangan oleh Kepala Desa. Itu memang tidak ada usaha UD. Intan, tapi saat di Pengadilan Negeri Tabanan malah dinyatakan menang, itu lucunya," sebutnya.


Kejadian ini sudah berlangsung hingga tiga kali PK yang terus diperpanjang. Sebenarnya PK yang ketiga kali, saat diawal jumlahnya tidak  Rp 1,5 Milyar, tapi dibawah itu.


"Saya tidak tahu menahu, juga kakak saya yang punya sertifikat juga tidak tahu apa. Akhirnya, saat PK ketiga, malah kakak saya yang punya jaminan tidak ada tanda tangan di bank atas nama jaminan, tanah waris sich ini, tapi atas nama kakak saya. Tidak ada tanda tangan, tapi cair uangnya dan bisa diperpanjang kreditnya, sebenarnya itu khan tidak bisa diperpanjang, karena kakak saya tidak teken tanda tangan," bebernya.


Menyikapi hal tersebut, pihaknya melakukan  gugatan di Pengadilan Negeri Denpasar, dikarenakan PK ketiga itu berbunyi apabila ada perselisihan dalam hal ini, maka berhak dilakukan  gugatan di Pengadilan Negeri Denpasar. "Itu baru dilakukan sidang perdana dengan penyampaian saksi," pungkasnya. (red).

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama