-->

Diduga Tukang Sodomi Anak Kecil, Tapi Polisi Belum Tangkap Pelaku Berinisial GI

GI Terduga pelaku Sodomi


Klungkung  ( Bali ) -Tribunus.co.id  kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur atau pedofilia,tampak nya sudah bukan hal asing untuk di dengar dikalangan masyarakat,kali ini terjadi di Di Desa Pakse Bali, Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung,ada Ashram Gandhi Puri Sevagram (GPS). Pemiliknya adalah seorang tokoh spiritual yang sangat terkenal berinisial GI.

Belakangan ini GI sebagai terduga kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur atau pedofilia. Diduga, semua korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh GI adalah berjenis kelamin pria.

Kasus yang sangat viral di Bali ini, tiba-tiba dihentikan oleh Kapolda Bali Irjen Pol Dr. Petrus Reinhard Golose. Seperti dijelaskan beberapa media lokal di Bali bahwa, Kabid Humas Polda Bali Kombes Pol Hengky Widjaja menjelaskan, dari hasil penyelidikan dan klarifikasi terhadap 7 orang yang ikut hadir pada pertemuan di rumah psikiater pada sekitar bulan Maret 2015 lalu.

“Bahwa memang benar, saat pertemuan melihat dan mendengar testimoni atau pengakuan satu orang laki-laki yang saat itu sudah mahasiswa berumur kira-kira 20 tahun, dan mengaku pernah mendapat pelecehan seksual dari guru spiritualnya di Ashram Klungkung, ketika yang bersangkutan belum berumur 18 tahun,” terangnya, Rabu (20/2/2019) malam.

Dikatakan Hengky, dari hasil penyelidikan terhadap orang yang diduga sebagai korban, saat ini sudah berumur 24 tahun. Pada mulanya yang bersangkutan berjanji untuk bertemu dengan penyidik pada tanggal 5 Februari 2019.

“Namun, pada saat hari yang dijanjikan yang bersangkutan mengirim pesan melalui WA yang intinya meminta maaf, setelah yang bersangkutan mengaku merenung, dia tidak mau lagi mengingat hal yang sudah lewat, dan minta tolong jangan diganggu dan mengaku sudah bahagia dengan kehidupannya yang sekarang dan meminta pengertian penyidik,” jelas Hengky.

“Pada mulanya menurut saksi-saksi, korban kooperatif dan akan bersedia untuk melaporkan peristiwa yang pernah dialaminya ke kepolisian. Namun, ketika hari H waktu yang dijanjikan akan diajak melapor oleh pendamping dari LBH, korban tidak bersedia untuk melaporkan peristiwa yang dialami, sehingga peristiwa tidak jadi dilaporkan,” tandasnya.

Berdasarkan fakta tersebut, Polda Bali dalam hal ini penyidik Subdit IV Ditreskrimum Polda Bali, telah melakukan upaya penyelidikan secara proaktif terhadap peristiwa tersebut, namun menemui kendala. Pertama, orang yang diduga sebagai korban tidak bersedia untuk memberikan keterangan, terkait kapan dan dimana kejadiannya, modus operandinya bagaimana,” paparnya.

“Sehingga penyidik tidak bisa mengumpulkan alat bukti yang mendukung, guna membuktikan apakah benar telah terjadi dugaan peristiwa pidana perbuatan cabul terhadap anak atau pedofilia,” ulasnya.

“Selanjutnya yang kedua, penyidik tidak bisa melakukan penyidikan tanpa adanya keterangan korban (korban masih hidup/sehat), karena keterangan saksi-saksi yang baru diperoleh, hanyalah saksi yang mendengar cerita dari orang yang diduga sebagai korban dan bukan saksi yang mengalami atau mengetahui peristiwa secara langsung (Testimonium de Auditu),” imbuhnya.

Lanjutnya, kemudian yang ketiga bahwa, terhadap informasi adanya rekaman pengakuan pelaku, sampai saat ini belum diperoleh penyidik, dan bila benar ada rekaman tersebut, maka rekaman tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti berdiri sendiri tanpa didukung oleh alat bukti yang lain (keterangan korban, saksi, surat. ahli dan petunjuk), dimana pengakuan pelaku baru bernilai sebagai alat bukti bila diucapkan di depan sidang pengadilan (keterangan terdakwa).

Keempat, masih Hengky, bahwa terkait dengan orang yang diduga sebagai korban tidak mau memberikan keterangan penyidik, tidak bisa memaksa karena sesuai dengan Pasal 5 huruf c UU RI No.13 Tahun 2006, tentang Perlindungan saksi dan korban. Bahwa, saksi dan korban berhak “Memberikan keterangan tanpa tekanan,”.

Terpisah, aktivis Perlindungan Perempuan dan Anak, Ipung Safura Siti kepada kabaRI.id mengatakan, kasus pedofilia ini mencuat berawal pada bulan Maret 2015, dimana Ipung dkk diundang pertemuan di jalan Gandapura 30 Denpasar Timur melalui BBM oleh Luh Putu Anggreni.

“Saat itu yang diundang selain saya, ada dari LBH APIK, bernama NI Nengah Budawati SH selaku Direktur LBH APIK, hadir bersama stafnya Elin. Dari LBH Bali yang hadir yakni Sitamerti dan Vany. Kemudian Tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (TP2TP2A) Provinsi Bali yang hadir Sukawati selaku Advokat.

Ada lagi P2TP2A Kota Denpasar yang hadir Anggreni dan saya. Anggreni ini selaku Ketua harian P2TP2A Kota Denpasar. Kemudian dari Manikaya Kauci yang hadir I Nengah Suardika SH (advokat),” bebernya.

“Saat itu acara pertemuan dibuka oleh Prof Luh Ketut Suryani. Selain sebagai Psikiaternya korban, profesor yang sering muncul di youtube ini juga memiliki LSM yang spesialis pada kasus Paedofilia. Saat itu Suryani mengatakan ini peristiwa sudah sering terjadi dan terulang kembali. Namun kita harus hati-hati menyikapi, karena dia adalah seorang tokoh. Namun sekarang ada korban di tangan saya. Lalu Prof Suryani bicara ke saya. Ipung sepertinya kamu yang paling paham tentang kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Coba kamu pelajari dokumen yang ada pada saya. Saat itu pun Suryani menyerahkan semua dokumen yang ada di tangannya kemudian diserahkan ke saya. Lalu saya baca satu persatu dokumen tersebut ada 4 lembar,” ujar Ipung menjabarkan ucapan Suryani.

Dokumen 1, kata Ipung, berisi surat pernyataan yang dibuat oleh GI mengatakan bahwa dia mengakui semua perbuatannya dan meminta maaf dan tidak akan mengulangi lagi. Surat tersebut ditandatangani oleh GI.

Dokumen 2 berisi surat pernyataan yang isinya dia (GI) bersedia keluar dari Ashram Gandhi Puri Sevagram dan tidak lagi menjadi guru JI di Ashram. Surat itu juga ditandatangani ole GI.

Dokumen 3 berisi surat pernyataan yang dibuat Oleh Dave Fogarty seorang WNA. Dave adalah donatur jumlah tetapnya Ashram yg sempat tinggal di Ashram bersama istri dan anaknya. Surat tersebut berbunyi bahwa GI bersedia memberi keterangan kepada polisi jika kasus ini dibawa ke polisi.

Menurut Ipung, Dave inilah yang membawa 4 orang anak yang jadi korban, agar bisa keluar dari ashram dan dibawa ke rumah Prof Suryani untuk mendapatkan pemulihan secara psikologi.

“Anaknya Dave sempat hampir jadi korbannya GI, makanya dia sempat bertengkar keras dengan GI th 2015 sebelum dia mengajak keluarga dan 4 orang korban keluar dari Ashram tahun 2015,” ujarnya.

Ini kasus rame karena saya yang expos di medsos. Akhirnya saya diundang oleh Ibu Gubernur, setelah itu besoknya rame di media.

Lalu berdasarkan berita itu Polda Bali membuat laporan informasi dan saya dipanggil. Semua informasi sudah saya berikan. Akhirnya semua nama dipanggil dan semua mengakui hal yang saya sampaikan. Semua data dan dokumen ada di Prof Suryani dan juga diserahkan ke polisi. Trus kenapa sekarang tiba-tiba dihentikan, aneh kan?” sesal Ipung.

Ipung mengaku sangat kecewa dengan kebijakan Kapolda Bali yang menghentikan kasus ini.

“Pedofilia ini kejahatan yang luar biasa. Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) sama dengan UU Teroris dan UU Narkoba. Polisi berdasarkan UU bisa membuat laporan informasi berdasarkan Informasi yang berkembang. Kenapa tiba-tiba korban tidak berani bicara? Kenapa Prof Suryani dan penggiat anak di Bali sekarang diam? Kenapa Kapolda Bali minta kasus ini harus ada yang lapor? Kenapa malah saya dianggap rasis?” gerutu Ipung.

Ipung berjanji segera temui Kapolri Tito Karnavian untuk paparkan lebih jelas tentang kasus ini.

“Sebenarnya saya tahun 2016 sudah sempat bahas kasus ini dengan Boy Rafli. Dan saya minta Mabes Polri untuk turunkan tim investigasi ke Bali. Tetapi hingga kini belum ada tim investigasi seperti yang saya inginkan,” tuturnya.

Diakui Ipung, istilah pedofilia belum banyak diketahui oleh masyarakat di Bali. Malahan akun fb atas nama Dwitara J Ariana bercuit “Pak polisi tangkap GI si tukang katuk jit nak cenik di Ashram Gandhi Puri Sevagram Klungkung” (pak polisi tangkap GI si tukang sodomi anak kecil) di Ashram Gandhi Puri Sevagram Klungkung.

“Jika ada korban dan kasus ini ditutup karena korban sudah bahagia. Semestinya Polda Bali menyelidiki pernyataan korban. Apa benarkah dia bahagia dan dengan alasan tak mau diganggu? Wajib untuk kita ketahui bahwa korban sodomi berpotensi menjadi seorang pelaku sodomi. Tak sedikit seorang pedofil juga menikah dan punya anak tetapi tetap menyodomi anak laki-laki kecil lainnya,” seru Ipung.

Pengacara yang pernah menangani kasus pembunuhan Angeline ini mengakui, ia sudah beberapa kali mengadvokasi kasus serupa. Rata-rata pelaku punya istri dan anak.

Dijelaskan Ipung, kasus pertama, ia sempat menangani seorang korban sejak umur 9 th sampai umur 11 tahun baru terungkap, bahwa setiap hari anak ini disuruh melakukan oral sex oleh pelaku dan disodomi. Kasus ini terungkap setelah istri pelaku menemukan secarik kertas yang dibuat oleh korban yang isinya surat pernyataan bahwa korban melakukan hal ini (sex oral dan sodomi) karena dasar suka sama suka dan korban juga berjanji dalam surat tersebut walaupun nanti korban sudah menikah, korban akan tetap menemui pelaku dan melakukan hubungan sex tersebut.

Kasus yang ke dua, Ipung sempat membongkar kasus pedofilia yg terjadi di salah satu yayasan (pondok pesantren) di Bali. Korban disodomi sejak umur 7 thun sampai 11 th dan itu setiap hari dilakukan. Jika tak mau, korban dipukul. Korban adalah anak yatim yang dititipkan ibunya. Setelah kasus ini terungkap Ibu korban mengeluarkan anaknya dari pondok tersebut dan menitipkan kepada saudara ibunya yang punya anak berumur 2 th jenis kelamin laki-laki. Saat mereka bermain bareng anak tersebut, hampir menyodomi adik sepupunya. Artinya, seorang korban pedofil rentan atau berpotensi menjadi pelaku.


          Hengky menjelaskan, saat ini seharusnya tidak memaksa orang yang diduga sebagai korban untuk memberikan keterangan. Karena korban sudah tidak mau mengingat kembali peristiwa yang dialami atau trauma masa lalunya. “Justru, seharusnya sekarang kita bersama-sama harus melindungi hak korban (pedofilia)yang sudah hidup tenang dan bahagia dan sudah pulih dari traumanya. Serta sudah melupakan peristiwa yang dialaminya. Agar kasus-kasus seperti ini tidak dipolitisir karena akan mengingatkan korban kembali pada trauma masa lalunya,” ungkap Kabid Humas Polda Bali.

sampai sekarang Kapolda Bali, belum menjawab pertanyaan awak media ketika dikonfirmasi via WhatsApp, minggu 24 Februari, pukul 11.55 wib,Semestinya dengan mengetahui bahaya pedofil, Polda Bali bukan menutupi kasusnya, tetapi melakukan penyelidikan mengapa korban tak bersedia datang dan memberi keterangan. Apakah tidak mungkin saat ini dia sudah dewasa, dan mungkin sudah maaf, jadi pelaku seperti GI,” sergah Ipung.

Hal senada disampaikan l Wayan Titip Sulaksana. “Maaf, kasus pedofilia adalah jenis kejahatan extra ordinary crime, amat sangat berbahaya bagi anak-anak. Oleh karena itu, adalah sangat naif kalau sampai Polda Bali menghentikan kasus ini. Pelaku sudah mengakui perbuatannya secara terbuka di depan umum (LSM) dan kasus ini viral di medsos. Ini harus ditangani secara serius dengan bedasarkan pada UU Perlindungan Anak. Jadi tidak dapat dibenarkan sama sekali menurut hukum, kalau kasus ini dihentikan karena alasan kemanusiaan. Polisi harus mempertimbangkan dan melindungi para korban dan masa depannya. Apakah karena pelaku “pemuka agama” dan pemilik padepokan, jadi mendapat perlakuan istimewa? Bagaimana kalau yang bersangkutan anak seorang pesuruh kantor? Apa dapat perlakuan yang sama?” protes praktisi hukum Universitas Airlangga Surabaya ini.

Baik GI, Suryani dan Dave hingga kini belum menjawab pertanyaan Awak Media saat ini.( Saiful Arif- Hartanto ).

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama