-->

Amburadurnya Pemilu 2019, Pidana Mengintai KPU


KPU adalah satu-satunya lembaga yang pelaksanaan tugasnya mempunyai "waktu beban puncak". Di saat itulah KPU diuji.

JAKARTA,TRIBUNUS.CO.ID - Pemilu 2019 adalah kontestasi sirkulasi elite serentak perdana bagi Indonesia. Namun, Pemilu kali ini menjadi ajang uji coba yang gagal. Kubu oposisi menyatakan Pemilu 2019 "amburadul" dan sangat ceroboh. Bawaslu menegaskan pemilu kali ini "gonjang-ganjing".

Sementara Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis menyebut pemilu kali ini melebihi kapasitas negara. Tak ayal, Wapres Jusuf Kalla (JK) meminta pemilu di periode mendatang tak lagi diadakan serentak alias kembali dipisah antara Pileg dan Pilpres.

Pemilu 2019 juga Ibarat pembunuh berdarah dingin. Desain struktur dan fungsi demokrasi Pemilu kali ini, memebuat 440 orang anggota KPPS meninggal dan 3.788 orang sakit (data KPU per Sabtu, 5/5). Tak terkecuali, bahkan korban juga terjadi di pihak kepolisian yang sama kita tahu memiliki daya tahan fisik dan kesehatan yang prima. Belum lagi masalah lain yang sudah menyembul sejak KPU memutakhirkan data daftar pemilih. Kemudian sengkarut masalah logisitik, kekacauan pemilu di luar negeri, surat suara tercoblos, hingga terjadi berbagai salah input penghitungan suara.

Terkait penghitungan suara, misalnya, KPU mencatat telah terjadi 224 kesalahan entri data dalam Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU hingga Jumat (3/5). Kesalahan tersebut berupa ketidakcocokan antara data yang tercatat dalam Situng KPU dan hasil pindai formulir C1.

Dari jumlah tersebut, ada 19 kesalahan entri data yang membuat suara pasangan calon (paslon) nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin berkurang. Sebanyak 56 kesalahan entri data membuat suara paslon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno berkurang.

Tak hanya membuat suara dua paslon berkurang, kesalahan entri pada Situng KPU juga membuat suara kedua paslon bertambah. KPU mencatat ada 43 kesalahan entri data membuat suara Jokowi-Ma'ruf bertambah dan 28 kesalahan entri data yang membuat suara Prabowo-Sandiaga bertambah.

Selain itu, ditemukan ada 38 kesalahan entri data yang membuat suara Jokowi-Ma'ruf bertambah dan suara Prabowo-Sandiaga berkurang. Sebaliknya, ditemukan 18 kesalahan entri data yang membuat suara Jokowi-Ma'ruf berurang dan suara Prabowo-Sandiaga bertambah.

Sebelumnya, Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi mengklaim menemukan kesalahan input data di 73.715 TPS dari total TPS yang diambil sampel sebanyak 477.021. Sementara, laporan kesalahan entri yang ditemukan KPU sebanyak 224 kesalahan ini berasal dari 813.350 TPS.

Koordinator Relawan IT BPN Musthofa Nahrawardaya memaparkan, ada lima provinsi dengan temuan kesalahan input data terbanyak, yakni Jawa Tengah sebanyak 7.666 TPS, Jawa Timur 5.826 TPS, Sumatera Utara 4.327 TPS, Sumatera Selatan 3.296 TPS dan Sulawesi Selatan 3.219 TPS.

Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengatakan, Situng hanya alat bantu yang dipilih oleh KPU untuk memberikan informasi yang cepat terkait penghitungan suara kepada masyarakat. Jika ditemukan kesalahan entry data, hal itu bukan berarti curang, melainkan human error.

Namun, BPN menduga terjadi kecurangan berupa kesalahan input data dari formulir C1 plano ke Situng. Menyebut banyak human error dalam proses input data, Direktur Advokasi Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Sufmi Dasco Ahmad juga mengeluhkan suara Prabowo-Sandiaga yang menurutnya tak bertambah.

Sebab itu, ia juga mendesak Bawaslu agar menghentikan Situng KPU. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini menilai kondisi tersebut meresahkan masyarakat. Dia pun mengaku kubunya membawa bukti-bukti lengkap untuk melaporkan KPU ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Hal senada diungkapkan calon wakil presiden Sandiaga Uno. Dia meminta Situng dihentikan sementara sembari dilakukan audit terhadap sistem tersebut. "Harus memakai sistem audit untuk mengetahui apakah ini terpola sengaja atau memang human error. Ini yang harus dipastikan, saya rasa itu enggak akan lama kok melakukan sistem audit, 2-3 hari," ujar Sandiaga di Sabtu, 4 Mei 2019.

Human Erorr atau Ada Unsur Kesengajaan?

Pihak KPU boleh saja menyebut kesalahan entri data merupakan human error. Namun, banyak kalangan yang meragukan karena kesalahan atau kelalaian tersebut terjadi tak cukup sekali. Jika kesalahan itu sekali atau dua kali barangkali wajar dianggap human error, namun jika terjadi ‘kesalahan’ hingga ratusan kali dan terjadi di banyak daerah patut dicurigai ada tangan-tangan tersembunyi yang melakukan kecurangan.

“Masak, salah input data sampai di 9 daerah? Masak dalam 3 hari baru ter-input 5 persen? Penghitung swasta/perseorangan saja sudah lebih di atas 50 persen,” tegasnya. Menurutnya, keadaan ini menimbulkan berbagai spekulasi negatif dan semakin memperpanas suasana,” tandas mantan Ketua MK Mahfud MD dalam akun twitternya (21/4) Kemarin.

Pun begitu, untuk membuktikan human error ataupun adanya unsur kesengajaan, sebaiknya Bawaslu perlu memeriksa KPU. Di sisi lain, para komisioner KPU tak perlu mengelak dan menganggap enteng persoalan tersebut. Sebab, human error bisa terjadi akibat kelalaian pegawai KPU yang bisa dijerat dengan pidana pemilu. Jenis-jenis tindak pidana pemilu diatur dalam BAB II tentang Ketentuan Pidana Pemilu Pasal 488 s.d 554 UU No/7/2017 tentang Pemilihan Umum.

Jika ditemukan pelanggaran dapat dikenakan Pasal 505 Undang-undang No.7 Tahun 2017. Yang menegaskan kepada Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, dan PPS yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan suara atau sertifikat rekapitulasi perolehan suara, dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 Tahun.

Selain itu, pada Pasal 504 UU No.7 Tahun 2017 menegaskan, kepada setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya berita acara pemungutan, perhitungan suara atau sertifikat hasil penghitungan suara sebagaimana dimaksud dalam pasal 389 ayat (4) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 Tahun dan denda paling banyak Rp.12 juta.

Sedangakan jika dilakukan dengan kesengajaan, akan dikenakan Pasal 532 UU 7/ 2017 yang berbunyi; "Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang Pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan Peserta Pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara Peserta Pemilu menjadi berkurang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah)".

Adapun pasal 536 UU 7/ 2017 berbunyi; "Setiap orang yang dengan sengaja merusak, mengganggu, atau mendistorsi sistem informasi penghitungan suara hasil Pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)".

Dilihat dari pasal-pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa siapapun, termasuk penyelenggara, KPU, Bawaslu dan jajarannya yang merusak, menghilangkan, bahkan merubah hasil perhitungan suara dari TPS, baik sengaja atau tidak (lalai), ancaman pidana siap mengintai.

Khusus bagi ketua KPU, ada ancaman pidana tambahan jika menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan. Pasal 514 menyebutkan, “Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 240 juta”.

Pewarta : rn
Sumber : Nusantara.news

0 Komentar

Lebih baru Lebih lama